MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang
dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak
25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan,
dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan
Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah,
cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima
perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan
antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi
ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit
untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti
hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan
Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses
ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya,
sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi--
oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga
ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk
sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia
juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak
prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung,
menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi
putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama
hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain
putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq
makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati
Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati
Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa
daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki
Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang
guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir
digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan
saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara
ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden
Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah
memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga
itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo
Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun,
kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut.
Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi
panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari
Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja
Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan
Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid,
Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui
Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena
mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak,
Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang
tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang
tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama
Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah
ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena
keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga,
sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar
keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh
hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far
Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya,
Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa
catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq
menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan
warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai
Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana
kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang
sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa
Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di
Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok
kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu
merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far
Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu
merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap
tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula
hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian
membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama.
Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara
Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam
inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah,
sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab
yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...''
Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan
Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang
kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih
terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan
Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri
handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan
frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu.
Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau,
bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan
bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain
bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat
Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan
Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri
tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap
menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya
di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara
Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno
yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda)
yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan
Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab,
kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon
berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi
reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi
beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu
tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem,
maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta
bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga
menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama
Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain
disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for
Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis (
according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of
solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to
the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah
acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan
Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh
beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan
Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid.
Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya
untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang
musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang
Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat
pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat
setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu
satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang
dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia
biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan
masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah
Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita
penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga
oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah
malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit.
Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan
beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian
beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri
Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa.
Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa
apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang -
kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di
Kudus.
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau
konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah
masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa
jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada
seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena
beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari
Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba
Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di
dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid
itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa :
Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri
nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk
Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan,
bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di
bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan
lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama
Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut
mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah
langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya
dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika
dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan,
bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di
sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki
Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang
becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut
kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah
tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah
sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan
Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden
Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh
Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di
pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja
memeluk agama Islam.
Kembali ke Kisah Wali Songo
dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak
25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan,
dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan
Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah,
cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima
perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan
antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi
ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit
untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti
hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan
Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses
ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya,
sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi--
oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga
ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk
sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia
juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak
prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung,
menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi
putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama
hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain
putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq
makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati
Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati
Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa
daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki
Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang
guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir
digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan
saudara kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara
ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih
dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden
Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah
memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga
itu.
Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo
Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun,
kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut.
Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi
panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari
Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja
Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan
Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid,
Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui
Sunan Kalijaga sebagai guru baru.
Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena
mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak,
Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang
tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang
tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama
Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah
ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena
keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga,
sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar
keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh
hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far
Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya,
Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa
catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq
menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan
warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai
Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana
kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang
sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa
Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di
Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok
kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu
merupakan para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far
Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu
merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap
tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula
hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian
membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama.
Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara
Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam
inskripsi masjid tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah,
sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab
yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...''
Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan
Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang
kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih
terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan
Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri
handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan
frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu.
Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau,
bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan
bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain
bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat
Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan
Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri
tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap
menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya
di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara
Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno
yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda)
yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan
Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab,
kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon
berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi
reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir
disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi
beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu
tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem,
maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta
bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga
menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama
Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain
disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for
Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis (
according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of
solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to
the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah
acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan
Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh
beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan
Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid.
Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya
untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang
musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang
Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat
pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat
setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu
satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang
dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia
biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan
masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah
Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita
penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga
oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah
malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit.
Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya
tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan
beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian
beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri
Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa.
Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa
apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang -
kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di
Kudus.
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau
konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah
masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa
jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada
seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena
beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari
Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang
dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba
Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di
dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid
itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa :
Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri
nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk
Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan,
bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di
bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan
lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
Legenda daerah Jember
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama
Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut
mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah
langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya
dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika
dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan,
bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di
sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki
Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang
becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut
kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah
tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah
sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan
Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden
Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit.
Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh
Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di
pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja
memeluk agama Islam.
Kembali ke Kisah Wali Songo
Sunan Kudus / Raden Jakfar Sodiq
Reviewed by siuwild
on
19.23
Rating:
Tidak ada komentar: